Senja yang Tak Kunjung Tiada

Hawa selalu dingin di dermaga. Damai dan tenang. Hembusan angin yang gemulai ‘kan membelai tengkukmu agar kau segera bersandar pada tiang kayu.

Nyaman di sini, tak ada tempat ternyaman selain dermaga kecil terbengkalai, dengan jukung lamas dan perahu bekas.

Kau sendirian. Secara naluri, kau akan menyadari bahwa pada suatu masa kau akan berdiri sendiri, menunggu tiada seperti hal-hal remeh lainnya.

Bau kayu basah, terpa ombak sungai dan keinginan untuk lari dari realitas membawamu mengembara ke sela-sela jalan bawah jembatan. Kau jalan di antara kios-kios kecil yang siap menyambut wisatawan. Sekilas, orang-orang akan memperhatikanmu, menaksir harga dirimu. Jikalau dinilai tidak berharga, mereka akan kembali ke aktivitas mereka yang semula. Kau orang asing di sini, tiada yang mengenalmu dan kau tidak harus mengenalkan diri kepada yang lain.

Ya, benar! Aku asing, yang berjalan di kolong museum tua, yang mencoba terus memicingkan mata agar tidak terantuk tiang-tiang ulin. Aku tahu dan mengerti bahwa beberapa langkah akan membawaku ke dermaga kecil ini.

Aku pernah bertanya padamu mengapa langit tak kunjung berubah warna, mengapa harus selalu kuning, merah, jingga. Langit menjadi tidak inovatif dan membosankan. Lalu, kau, dengan segala dongeng fantasimu itu berucap, “Dahulu, langit lebih berwarna, kau tau? Pada siang hari ia berwarna biru, agar mentari menjadi satu-satunya yang diperhatikan oleh makhluk-makhluk di dunia. Malam tiba dan langit, mau tak mau, menjadi gelap, agar kita dapat menutup mata dengan tenang, membiarkan bulan bersinar terang dan menjaga kita dari makhluk-makhluk malam yang kasar.”

Diri kecilku manggut-manggut, ia, aku pada masa kecil itu menyadari makhluk-makhluk malam yang berseliweran sebagian besar benar penjahat. Namun, diri kecilku yang bodoh ini bertanya pada pendongeng ulung itu, “Apakah langit ikut tidur ketika malam tiba, Kak?”

“Tentunya!”

Seakan-akan lampu menyala di pinggir kepalaku, aku menyakinkan dengan lantang, “Jadi langit yang kita lihat selama ini telanjang, bukan?”

Ia kelihatan bingung, lalu bertanya, “Mengapa jadi seperti itu?”

“Jadi, ketika siang langit memakai baju biru untuk bekerja. Tetapi, ketika malam tiba ia berganti pakaian piama tidurnya. Namun, langit harus telanjang dahulu sebelum berganti piama, maka dari itu langit berwarna jingga!”

Ia tertawa, mengelus-elus kepalaku, sebelum aku menyadari bahwa hal yang kuingat darinya hanyalah dongeng dan tawanya yang memuakkan. Aku ingin bertanya, tetapi, dengan segala hormat, ia membujukku untuk melanjutkan celoteh dongengnya besok hari. Masa laluku terbangun dari tidur, bersiap, dan tidak menemukan siapa pun. Hari masih pagi dan langit selalu bernuansa senja. Tidak kutemukan siapa-siapa, hanya almanak yang berserak di meja makan. Tanggal lima memerah dan melingkar. Aku bergegas berlari ke dermaga. Tergopoh-gopoh, tanpa sandal dan memakai piama.

Hujan berkelana, aku selalu mengatakan bahwa hujan adalah bulir jeruk yang turun dari langit. Langit jeruk dan tetesan asamnya terus menghunjam kepalaku. Aku menjadi asam, dan tak terasa wajahku mengerut menahan tangis.

Jalanan lengang, dari kejauhan aku melihatnya. Tetapi, ia terus berjalan di atas titian. Aku berteriak, namun tirai hujan menghalau laju suaraku. Ia terus berjalan, senti kian senti.

Aku berlari terpejam-pejam. Tatkala tiba, tak kutemukan seorang pun di sana. Tubuhku panas, tungkaiku melemah. Senja semakin manyala, tak ada lagi asam, tak ada lagi asa. Langit memerah dan aku sedang menatap langit menghunjamkan darah.

Langit merenggut saudaraku, langit merenggut orang tuaku. Tidak ada orang dewasa di kota ini, mereka tiada pada waktunya. Adil dan pukul rata, semua akan tiada saat berumur dua puluh satu. Aku mengerti tidak ada yang abadi, tak ada yang perlu dipertahankan sampai mati, tetapi….

Setelah hari itu, hujan menjadi rembesan darah di mataku. Tatkala aku menatap langit, yang kutemukan hanyalah darah mengepul seakan-akan langit adalah daging yang terkelupas. Dendam tak menghasilkan arti, waktu berjalan, sebatas ilusi. Tanggal lima memerah dan melingkar, kami serasi, tanggal lahir dan keinginan untuk kabur dari realitas. Anak-anak di sini semakin lelah dan tak tahu harus berbuat apa. Tak ada tuju, tak ada harap, semua terhenti ketika mereka mengetahui bahwa menjadi dewasa artinya tiada.

Esok adalah akhir, apalah arti awal dan akhir bagi sesuatu yang tak pasti. Pukul berapa sekarang, maaf, tak ada arti, semua sama saja, langit selalu senja seperti biasanya. Aku menenggelamkan mataku ke dalam selimut, esok adalah akhir. Pada akhirnya, aku memaafkan langit, dendam masihlah tak menghasilkan arti. Semua tenggelam dalam bayangan kelam laiknya malam.

Aku terbangun dari tidur, membuka jendela, mengerjap beberapa kali dan menemukan cakrawala yang luas berwarna biru dilapisi kabut putih di atas lautan.

Banjarmasin, 20 Maret 2021

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai