Ini Kucing Telah Tiada dari Keset Depan Pintu

Kukatakan telah tiada, sebab semenjak beberapa minggu ia tak lagi bertengger di keset depan pintu. Entah ke mana kucing jantan itu pergi, agak meresahkan kiranya jika tiada terdengar kabar ia akan pulang. Sesekali Mama akan berucap, “Jikalau kau risau begitu, sebentar lagi ia akan balik.” Tetapi, tidak terjadi apa-apa. Hari itu aku berharap kucing dapat menulis surat dan mengirimnya sendiri lewat pos.

Kucing ini pejantan, namun agak sopan dan lemah fisiknya, kadang ia kembali ke rumah penuh luka cakar sana-sini. Pernah kutegur agar ia melawan ketika dihajar, agar ia membalas jika dicakar. Tetapi aku sadar, ia hanya kucing. Tanpa memedulikan apa pun, ia hanya beranjak dari keset dan mengelus-elus betisku.

Pada suatu malam, badai angin dan mati listrik, telah terinjak olehku sebuah bola bulu yang kasar. Keset adalah tempat menggosok kaki dan ia—entah berapa lama—telah bertengger di sana. Ia tak mengerang tatkala kakiku menekannya semakin dalam, agak penasaran akan apa yang kuinjak, aku menekannya lagi, lagi, dan lagi. Pada malam itu lah, aku menyadari perjumpaan pertama kami.

Ia agak istimewa, tetapi tidak pada pandangan pertama. Sungguh, ia sangat mengenaskan. Setelah terinjak olehku beberapa kali di malam itu, ia tak beranjak pergi. Fajar menyingsing dan kutemukan luka cakar di tubuh dan kepala, kulitnya lepuh bekas siraman air panas, dan tahi mata menggunung hingga menutupi pelupuk matanya. Ini kucing agak kurang ajar semenjak pertemuan pertama, jorok, sakit-sakitan dan bau. Jadi kubiarkan saja di sana, di keset tempat kami biasa menggosok kaki.

Dua hari berlalu, ia agaknya telah terbiasa membersihkan diri dengan air liur. Mungkin, ia sadar dan kesal terhadap kami yang terus-terusan merasa jijik. Bekas lukanya banyak yang telah mengering, kendati pun begitu, ekornya tak dapat lagi menumbuhkan bulu, atau rambut, ya, bulu saja. Dan, agak lucu melihat ekornya yang selalu menjunjung ke langit penuh martabat. Mungkin ia lahir dari kalangan bangsawan lalu dikutuk menjadi kucing seperti dalam cerita klasik Pangeran Kodok, menunggu sebuah ciuman tulus menghampiri bibirnya yang lepuh dan pucat. Tetapi, aku lelaki dan ia jantan, perilaku seperti ini tidak dibenarkan dalam masyarakat kami.

Semakin hari ia tak tumbuh besar, tak jua tumbuh bulu. Hanya luka-luka mengering dan air liur terus membasuh tubuhnya. Sebenarnya, aku agak takut, aku tidak pernah memelihara hewan dengan benar dan baik. Hewan pertama yang kuadopsi adalah tikus kecil yang kubeli dari pedagang di Tungging. Tikus itu abu, senang bermain seakan tiada kata lelah dalam kamusnya. Namun, mungkin karena aktivitasnya yang berlebihan itu, ia jadi sering kencing, bercermin dari itu masa kecilku mengerti bahwa tak baik terlalu banyak gerak di malam hari. Kencingnya pula sangat bau, jadi aku menjemurnya pada suatu hari yang terik dan kutinggalkan bermain bola sepak hingga senja. Tatkala aku kembali, Bapak telah mengadakan prosesi pemakaman, aku marah kepada Bapak dan menangis sesenggukan. Aku tahu aku salah, tetapi entah mengapa, Bapak selalu sedia untuk disalahkan. Kedua kalinya, aku mengadopsi cupang dan beragam ikan hias. Tetapi, bodohnya lagi, ikan-ikan kecil itu malah tersedot habis ketika aku membasuh dan mengganti airnya. Aku menyalahkan ikan-ikan bodoh itu yang tidak bisa berenang melawan arus. Lalu, terakhir kalinya, pada umur sembilan tahun, seekor kucing menghampiriku. Ia mengeong minta makan sedangkan aku hanya memegang sekantong snack, jadi kulempar saja sebiji. Serupa lempar tangkap, ia mengambil dan melumatnya, kembali kepadaku dengan tangan hampa dan cengengesan. Tiga hari berselang aku merawatnya, ia meninggal, dalam balutan selimut yang kurekatkan terlalu erat padanya. Aku kembali meratap, sebagai anak kecil, kembali mencari sesuatu untuk disalahkan. Dan lagi, aku menyalahkan angin malam yang terlalu dingin pada akhir tahun itu. Semua kenangan itu mengekang perikebinatangan dalam hidupku, aku semacam binatang purba yang hanya melihat hewan lain sebatas mangsa. Benar pula kata para babi itu, “Kaki empat baik, kaki dua jahat.”

Tetapi, suatu malam telah merubah hidupku, seperti telah kupaparkan sebelumnya, aku harap kita mengerti. Tiada malam yang kulewatkan tanpa berharap ia kembali, meski hanya berupa sepucuk surat yang tentunya dengan cap tangan asli, atau habisnya tulang-tulangan kesukaannya yang selalu kusiapkan di mangkuk depan rumah, atau tetiba banyak bermunculan bekas bulu di keset itu. Agar aku dapat mengetahui bahwa ia baik-baik saja.

Hari semakin larut, aku tidak yakin ia kembali hari ini. Ia pejantan dan penuh luka cakar. Kiranya itu cukup agar kucing-kucing jantan lain tidak sibuk mengganggunya. Jujur saja, kadang aku merasa tidak mengkhawatirkannya karena ia kucing yang cukup cerdas, pernah kuajari berhitung dengan jari dari satu hingga dua puluh. Dan ia pandai merapalnya, kecuali angka sembilan belas dan dua puluh, karena ia hanya memiliki delapan belas jari. Ya, karena kucing-kucing lain agak bodoh, jadi tentunya aku tidak perlu khawatir.

Malam yang larut ini berlalu beberapa hari dan tak kenal lelah menjumpai malam larut lainnya. Masih tiada kabar serta surat. Mangkuk di depan rumah masih terisi penuh—bahkan berulat, dan keset bersih laiknya sehabis dicuci, karenanya pula kami terbiasa tidak menggosok kaki di keset lagi. Tiap hari beranjak sunyi, tiada elusan di kakiku, meskipun aku kadang membenci ia mengelusku karena ia jorok dan bau.

Kami bersama kisaran dua minggu. Kadang aku terpikir, apakah ini dosaku atau kutukan menancap pada diriku? Sehingga, langit dan bumi seakan enggan memberi restu. Aku pernah meminta kepada langit agar memantau dari ketinggian di atas sana. Tetapi langit bodoh, buta, bisu dan tuli. Sedangkan bumi, ah, aku tak tau apa yang kukatakan. Malam ini aku hanya perlu meracau lagi, jikalau perlu berita sedih pun tak apa, asal ada kabar, bahwa ia akan menyadari dirinya sedang dinanti.

Setelah racauan itu terucap, jujur saja, aku rada menyesal. Malam beranjak, pagi mengukir embun dan matahari muncul berjaketkan halimun. Mama menghampiriku, dengan lemah lembut berucap, “Ia tiada.”

“Siapa, Ma?”

Kulihat jemari Mama getir mengarah kerumunan anak-anak, yang dengan sorak-sorai yang ramai, melemparkan seekor kucing busuk, penuh luka, lepuh dan tanpa bulu. Hanya karena ia tak mengeong tatkala disiksa.

Banjarmasin, Mei 2021

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai